Mentari pagi sudah menampakkan sinarnya ketika beberapa pekan
lalu, saya bersama seorang teman pergi untuk persiapan pernikahan teman lainnya.
Kebetulan pada kesempatan ini saya diajak menjadi panitia pada pernikahannya.
Saya datang dengan wajah yang cemas, karena saya berjanji tiba
pukul 05.00 waktu Indonesia bagian Cimahi, sedangkan kenyataannya saya datang
pukul 07.00. Terbesit dibenak saya mungkin saya akan dimarahi dan malah akan
mengganggu prosesi pernikahan, ternyata saat saya tiba di lokasi masih sepi.
Rupanya ada gangguan dalam perjalanan dari pihak mempelai pria sehingga akad
nikah diundur menjadi pukul 08.30. Ya mau gimana lagi, malam sebelumnya saya
masih berkutat dengan hasil ulangan anak-anak yang harus diperiksa saat itu
juga, maklum mulai menekuni passion sebagai pendidik. :D
Setelah tiba dengan was-was, saya langsung masuk ke rumah mempelai
wanita dan blusukan mencari ibu penata rias untuk minta seragam. Setelah
mengambil dan memakai seragam, saya bersama teman bergegas keluar rumah untuk
mengecek segala persiapan dan kondisi saat itu. Sekitar 10 menit kami mengecek
dan mempersiapkan acara kemudian duduk untuk bersantai sejenak.
Entah kenapa, tiba-tiba ingin membaca kembali susunan acara
pernikahan tersebut. Saya masih tidak percaya abang saya(teman pengajian) akan
melepas masa lajangnya, sejenak hati menjadi teduh dan ingin meneteskan air
mata. Mungkin nanti kami tidak akan bisa bercanda bersama, belajar bersama dan
mengobrol kembali seperti sedia kala. Tapi ini semua memang harus terjadi, jika
tidak ia akan tetap melajang, haha.
Setelah menunggu cukup lama sekitar 1 jam karena kemacetan yang
menjebak rombongan mempelai pria, akhirnya si abang pun datang ditemani
keluarga besarnya. Baru saja melihat dari kejauhan barisannya, tak kuat mata
ini menahan linangan airnya. Rupanya saya belum siap kalau jadi pengantin,
melihat pengantin dari dekat saja merinding.
Prosesi serah terima kemudian dilanjut beberapa ucapan selamat
dari kedua belah pihak mengawali acara pernikahan ini. Dan acara puncak
pengesahan pun akan dimulai. Setelah menunggu pegawai KUA yang terlambat
datang, khutbah nikah pun dilaksanakan untuk dilanjut dengan ijab qobul(akad
nikah).
Terlihat ayah dari mempelai wanita mulai menggenggam tangan abang.
Mereka mengikrarkan sebuah janji suci nan agung. Tanpa disadari, beberapa dari
tamu undangan mulai terisak, entah bagaimana awalnya. Bagi saya terasa seperti
menyaksikan sebuah keagungan ikatan yang tak kasat mata. Ikatan yang begitu
banyak mengubah hal dalam kehidupan dua orang insan, yang dengannya mereka
tidak lagi dua raga saja tetapi dua raga dengan masing-masing separuh jiwa di dalamnya.
Keharuan kembali pecah ketika ayah mempelai wanita merengkuh menantunya
mendekat dan berucap lirih, “Titip teteh ya a…”
Sungguh, mengetikkan kata itu kembali saja sudah mulai membuat
mata sata berkaca-kaca. :)
Jujur saja,
ketika kecil dulu, saya mengonsepkan pernikahan sebagai pestanya saja. Tatanan
panggung megah, makanan berlimpah, dan juga riasan yang wah. Maklum, pemikiran
bocah, hehe. Baru ketika jatah usia semakin berkurang, alhamdulillah pemahaman
itu yang bertambah. Dari segala kemegahan ataupun setiap detail memusingkan
pada setiap pernikahan, intinya selalu sama, tentang tanggung jawab.
Pada kisah abang
saya tadi, pada awalnya sempat terasa menggelikan menyaksikan perubahan status
mereka. Yang sebelumnya, dua-duanya adalah teman mengaji saya juga, teman
bercanda, bertukar pikiran, bertengkar hingga saling menasihati. Lalu sekarang,
see?! Ternyata mereka telah sah mengemban amanah yang semakin besar.
Bergandengan sepanjang hayat—bahkan hingga akhirat—untuk saling menjaga dan
menguatkan kebaikan masing-masing, untuk saling membenahi kekurangan masing-masing.
Pengalaman kali itu terulang pada pernikahan saudara saya. Lucu juga awalnya
menjadi bagian dari keramaian dan keributan persiapan yang terjadi. Namun
kembali ada yang berdesir ketika menjadi saksi mitsaqan ghalidza yang
diembannya kini.
Saya kemudian
menjadi teringat bahwa pada setiap akad nikah yang saya saksikan, pasti tangan
wali menjabat tangan mempelai pria erat-erat. Sekarang saya paham bahwa jemari
yang saling menggenggam itu bukan sekedar tanda kesungguhan tetapi juga kiasan
akan tanggung jawab yang selanjutnya akan teralihkan. Bukan hanya dalam
kecukupan kebutuhan hidup, akan tetapi juga tanggung jawab untuk membentuk dan
menguatkan akhlakul karimah masing-masing. Sungguh sesuatu, dan sungguh juga
termasuk sesuatu yang sungguh-sungguh lebih dari sekedar genggaman jemari. :)
Sempat terpikir nanti saat ijab qobul saya, mungkin nanti
genggaman tangan (calon) mertua akan selalu teringat. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar