Kamis, 28 November 2013

Jodoh dan Pernikahan 1: Lebih Dari Sekedar Genggaman Jemari

Mentari pagi sudah menampakkan sinarnya ketika beberapa pekan lalu, saya bersama seorang teman pergi untuk persiapan pernikahan teman lainnya. Kebetulan pada kesempatan ini saya diajak menjadi panitia pada pernikahannya.
ilustrasi
Saya datang dengan wajah yang cemas, karena saya berjanji tiba pukul 05.00 waktu Indonesia bagian Cimahi, sedangkan kenyataannya saya datang pukul 07.00. Terbesit dibenak saya mungkin saya akan dimarahi dan malah akan mengganggu prosesi pernikahan, ternyata saat saya tiba di lokasi masih sepi. Rupanya ada gangguan dalam perjalanan dari pihak mempelai pria sehingga akad nikah diundur menjadi pukul 08.30. Ya mau gimana lagi, malam sebelumnya saya masih berkutat dengan hasil ulangan anak-anak yang harus diperiksa saat itu juga, maklum mulai menekuni passion sebagai pendidik. :D

Setelah tiba dengan was-was, saya langsung masuk ke rumah mempelai wanita dan blusukan mencari ibu penata rias untuk minta seragam. Setelah mengambil dan memakai seragam, saya bersama teman bergegas keluar rumah untuk mengecek segala persiapan dan kondisi saat itu. Sekitar 10 menit kami mengecek dan mempersiapkan acara kemudian duduk untuk bersantai sejenak.

Entah kenapa, tiba-tiba ingin membaca kembali susunan acara pernikahan tersebut. Saya masih tidak percaya abang saya(teman pengajian) akan melepas masa lajangnya, sejenak hati menjadi teduh dan ingin meneteskan air mata. Mungkin nanti kami tidak akan bisa bercanda bersama, belajar bersama dan mengobrol kembali seperti sedia kala. Tapi ini semua memang harus terjadi, jika tidak ia akan tetap melajang, haha.

Setelah menunggu cukup lama sekitar 1 jam karena kemacetan yang menjebak rombongan mempelai pria, akhirnya si abang pun datang ditemani keluarga besarnya. Baru saja melihat dari kejauhan barisannya, tak kuat mata ini menahan linangan airnya. Rupanya saya belum siap kalau jadi pengantin, melihat pengantin dari dekat saja merinding.

Prosesi serah terima kemudian dilanjut beberapa ucapan selamat dari kedua belah pihak mengawali acara pernikahan ini. Dan acara puncak pengesahan pun akan dimulai. Setelah menunggu pegawai KUA yang terlambat datang, khutbah nikah pun dilaksanakan untuk dilanjut dengan ijab qobul(akad nikah).

Terlihat ayah dari mempelai wanita mulai menggenggam tangan abang. Mereka mengikrarkan sebuah janji suci nan agung. Tanpa disadari, beberapa dari tamu undangan mulai terisak, entah bagaimana awalnya. Bagi saya terasa seperti menyaksikan sebuah keagungan ikatan yang tak kasat mata. Ikatan yang begitu banyak mengubah hal dalam kehidupan dua orang insan, yang dengannya mereka tidak lagi dua raga saja tetapi dua raga dengan masing-masing separuh jiwa di dalamnya. Keharuan kembali pecah ketika ayah mempelai wanita merengkuh menantunya mendekat dan berucap lirih, “Titip teteh ya a…”

Sungguh, mengetikkan kata itu kembali saja sudah mulai membuat mata sata berkaca-kaca. :)

Jujur saja, ketika kecil dulu, saya mengonsepkan pernikahan sebagai pestanya saja. Tatanan panggung megah, makanan berlimpah, dan juga riasan yang wah. Maklum, pemikiran bocah, hehe. Baru ketika jatah usia semakin berkurang, alhamdulillah pemahaman itu yang bertambah. Dari segala kemegahan ataupun setiap detail memusingkan pada setiap pernikahan, intinya selalu sama, tentang tanggung jawab.

Pada kisah abang saya tadi, pada awalnya sempat terasa menggelikan menyaksikan perubahan status mereka. Yang sebelumnya, dua-duanya adalah teman mengaji saya juga, teman bercanda, bertukar pikiran, bertengkar hingga saling menasihati. Lalu sekarang, see?! Ternyata mereka telah sah mengemban amanah yang semakin besar. Bergandengan sepanjang hayat—bahkan hingga akhirat—untuk saling menjaga dan menguatkan kebaikan masing-masing, untuk saling membenahi kekurangan masing-masing. Pengalaman kali itu terulang pada pernikahan saudara saya. Lucu juga awalnya menjadi bagian dari keramaian dan keributan persiapan yang terjadi. Namun kembali ada yang berdesir ketika menjadi saksi mitsaqan ghalidza yang diembannya kini.

Saya kemudian menjadi teringat bahwa pada setiap akad nikah yang saya saksikan, pasti tangan wali menjabat tangan mempelai pria erat-erat. Sekarang saya paham bahwa jemari yang saling menggenggam itu bukan sekedar tanda kesungguhan tetapi juga kiasan akan tanggung jawab yang selanjutnya akan teralihkan. Bukan hanya dalam kecukupan kebutuhan hidup, akan tetapi juga tanggung jawab untuk membentuk dan menguatkan akhlakul karimah masing-masing. Sungguh sesuatu, dan sungguh juga termasuk sesuatu yang sungguh-sungguh lebih dari sekedar genggaman jemari. :)

Sempat terpikir nanti saat ijab qobul saya, mungkin nanti genggaman tangan (calon) mertua akan selalu teringat. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar